Menjadi pengguna VESPA memiliki beberapa keuntungan. Salah satunya adalah sapaan yang hangat dari pengguna VESPA yang lain.
Pada tahun 2004-2008, saya menggunakan VESPA di Jakarta. Mulai tahun 2010, kembali saya menggunakan VESPA di Yogyakarta. Entah di Jakarta, atau di JOGJA, sapaan dengan klakson dari pengguna VESPA lain merupakan moment paling menyenangkan ketika mengendari VESPA di jalanan. Ketika sedang asyik menyusuri kota Yogyakarta, tiba-tiba ada pengendara VESPA yang berpapasan dan membunyikan klakson tanda menyapa. Tak lupa, saya juga kembali menyapa dengan membunyikan klakson saya yang seadanya. Sapaan adalah salah satu upaya membangun relasi. Komunikasi bisa dimulai dengan sebuah sapaan.
Entah sejak kapan, kebiasaan menyapa dengan membunyikan
klakson antar pengendara VESPA ini tumbuh laksana jamur. Akhir tahun 1980an,
saat Bapak saya juga masih menggunakan VESPA, sapaan saling mengklakson antar
pengguna VESPA belum banyak (seingat saya). Sekarang, tanpa diminta, setiap
pengguna VESPA otomatis akan menyapa pengguna yang lain. Memang kebanyakan
pelaku adalah anak muda atau mereka yang masuk dalam komunitas pengguna VESPA,
namun lama-kelamaan, semua pengguna VESPA juga melakukannya.
Saya kepingin tahu. Sapaan dengan klakson itu
memberi kesan bahwa kita sama, kita adalah sesama pengguna VESPA. Konsekuensi
logis dan sapaan sebagai sesama itu adalah bahwa muncul solidaritas.
Solidaritas sebagai sesama pengguna VESPA. Menumbuhkan kesadaran sebagai sesama
adalah yang pertama, solidaritas akan mengikuti kemudian. Bukankah hal ini
sangat mengesankan ? Bisakah dikenakan untuk komunitas di luar pengguna VESPA ?
Pengalaman seorang teman sesama pengguna VESPA menegaskan
solidaritas itu. Ketika VESPA-nya mogok di jalan, ada pengguna VESPA lain yang
dengan murah hati mendekati dan menolong. Tidak hanya membetulkan, bahkan dia pernah
dipinjami ban serep VESPA. Masih menurut cerita teman saya itu, ada beberapa
pengguna VESPA yang sengaja putar-putar di JOGJA dengan tujuan menolong
pengguna VESPA lain yang mengalami masalah VESPA di jalan. Kembali lagi, saya
tertegun dengan ceritera ini. Darimana semua itu berasal ?
Saya mulai menduga-duga, darimana asalnya solidaritas itu ?
Apakah solidaritas itu muncul karena kesamaan nasib ? Nasib yang bagaimana ?
Situasi jadi korban ? jadi ingat bagaimana dulu orang-orang nusantara merasa
senasib dijajah lalu bersolider berperang.
Pertanyaannya, Mengapa para pengguna motor bebek tidak punya
solidaritas yang sama ? Apakah karena vespa termasuk motor lawas ? Mengapa
pengguna motor lawas tidak melakukan hal yang sama ? Yang jelas, bukan karena
lawasnya. Lalu darimana solidaritas itu bisa muncul ?
Saya jadi ingin membandingkan dengan para pecinta MOGE.
Salah satu hal yang membuat saya jengkel ketika mengendarai motor atau mobil di
jalan adalah ketika melintas gerombolan pengendara MOGE. Kejengkelan itu muncul
karena mereka biasanya menggunakan “Voorijder” dan berjalan kencang, memotong
jalan dan tidak menghiraukan pengendara yang lain. Kesan itu bertolak belakang
dengan kesan pengguna VESPA yang santai dan menikmati jalan serta identik dengan
solidaritas. Sekali lagi, darimana datangnya solidaritasnya ?
Bila memang masih terlalu sulit mencari, baik bila dibiarkan
saja. Yang penting adalah bahwa dengan mengendarai VESPA orang bisa bersolider dengan
pengendara yang lain. Ada kebanggaan untuk bertindak solider. Identitas sebagai
orang yang solider tiba-tiba muncul begitu seseorang mengendarai VESPA.
Kira-kira logika
ngawurnya begini : Sesama pengendara Vespa adalah solider. Saya adalah
pengendara Vespa. Karena saya pengendara Vespa, saya solider. Sederhana,
mungkin tanpa alasan luhur sok moralitas apapun, bahkan bisa karena fashion saja,
namun efeknya berlipat ganda. Yang penting kita bisa lihat hasilnya :
solidaritas. Bagaimana dengan komunitas lain ?
No comments:
Post a Comment