Islam dan Kebudayaan
Pada
bagian ini kita akan membicarakan tentang Islam dan Kebudayaan. Hal ini penting diketahui agar kita dapat
menjawab pertanyaan atau persoalan Islam dan Kebudayaan. Di antara pertanyaan
adalah apakah Islam itu kebudayaan ?
pertanyaan ini penting dikaji agar kita dapat memahami Islam secara
lebih komprehensif. Di samping itu, kita
pun akan mencoba mengungkapkan hubungan antara Islam dan kebudayaan.
Pada
bagian ini, pemakalah akan mencoba
menelusuri metode memahami Islam yang dapat dijumpai dari berbagai literatul
ke-Islaman. Dalam buku berjudul Tentang Sosiologi Islam, karya Ali
Syari’ati, dijumpai uraian singkat mengenai metode memahami yang pada intinya
Islam harus dilihat dari berbagai dimensi.
Dapat
diketahui bahwa Islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi yaitu mulai
dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pemgetahuan dan
teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian sampai pada kehidupan rumah
tangga, dan masih banyak lagi.
Kehadiran
agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Diyakini dapat menjamin terwujudnya
kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Didalamnya terdapat berbagai
petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan
ini secara lebih bermakna dalam ati yang seluas-luasnya.
Kebudayaan: Pengertian, unsur, dan
fungsi
Dalam
litaratur antorpologi terdapat tiga
istilah yang boleh jadi semakna dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization
dan kebudayaan. Team kultur berasal dari bahassa Latin, yaitu dari kata Cultura
(kaya kejanya colo, colere). Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan,
mengelolah (S. Takdir Alisyahbana, 1986:205). Soerjono Soekanto (1993:188)
mengungkapkan hal yang sama. Namun, ia menjelaskan lebih jauh bahwa yang
dimaksud dengan mengelolah atau mengerjakan sebagai arti kultur adalah mengolah
tanah atau bertani. Atas dasar arti yang
dikandungnya, kebudayaan kemudiian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan
manusia untuk mengolah dan mengubah Islam.
Istilah
kedua yang semakna atau hamper sama dengan kebudayaan adalah sivilisasi. Sivilisasi (civilization) berasal dari kata Latin, yaitu civis. Arti kata civis adalah warga Negara (civita=Negara kota, dan civilitas= kewarganegaraan). Oleh karena itu, S. Takdir Alisyahbana
(1986:206) menjelaskan bahwa sivilisasi berhubungan dengan kota yang lebih
progresif dan lebih halus. Dalam bahasa
Indonesia, peradaban dianggap sepadan dengan kata civilization.
Berikut
beberapa pengertian kebudayaan menurut S. Takdir Alisyahbana (1986: 207-8)
1. Kebudayaan
adalah suatu keseluruhan yang komplek yang terjadi dari unsur-unsur yang
berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hokum, moral, adat
istiadat dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
2. Kebudayaan
adalah warisan social atau tradisi.
3. Kebudayaan
adalah cara, aturan dan jalan hidup manusia.
4. Kebudayaan
adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan
persoalan
5. Kebudayaan
adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.
Parsudi
Suparlan (A.W. Widjaya (ed.), 1986:65-6) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah
serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana dan
strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang
dimiliki manusia, dan yang digunakannya secara selektif dalam menghadapi
lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan
tinndakan-tindakannya.
Pengertian
kebudayaan tersebut hampir sama dengan pengertian kebudayaan yang dijelaskan
oleh Taylor yang banyak dikritik oleh peneliti lain karena kecenderungan
integralistikya dalam mendefinisikan budaya (Effat al-Sharqawi, 1986: 1). Tampaknya, pengertian kebudayaan yang
cenderung integralistik itu juga diterima oleh beberapa ahli di Indonesia. Salah satu buktinya adalah defiisi kebudayaan
yang dikemukakan oleh Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964: 113).
Mereka menjelaskan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. Karya masyrakat menghasilkan
teknologi dan kebudayaan kebendaan (material
cultur) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan pada dasarnya
adalah hasil karya, rasa, dan cita-cita manusia.
Soerjono
Soekanto, (1993: 190) menjelaskan bahwa pendapat diatas mengenai kebudayaan
dapat dijadikan sebagai pegangan.
Selanjutnya, ia menganalisis bahwa manusia sebenarnya mempunyai dua segi
sisi kehidupan: sisi material dan sisi spiritual. Sisi material mengandung karya, yaitu
kemampuan manusia untuk mengahasilkan benda-benda atau yang lainnya yag
berwujud materi. Sisi spiritual manusia
mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karsa yang menghasilkan
kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, hukum, serta rasa yang menghasilkn
keindahan. Manusia berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika,
menyerasikan perilaku terhadap kaidah melalui etika, dan mendapat keindahan
melalui estetika. Itu semua merupakan
kebudayaan yang menurut Soerjono Soekanto dapat dijadikan sebagai patokan
analisis.
Masih
dalam Soejono Soekanto, kebudayaan yang dijelaskan dimiliki oleh setiap
masyarakat. Perbedaannya terletak pada
kemajuan dan kesempurnaan: kebudayaan masyarakat yang satu lebih maju atau
lebih sempurna daripada kebudayaan masyarakat yang lain,dalam perkembangannya
untuk memenuhi segala keperluan masyarakatnya.
Biasanya, kebudayaan masyarakat yang telah mencapai taraf perkembangan,
taraf teknologi yang lebih tinggi disebut peradaban (civilization) (Soerjono Soekanto, 1993: 190).
Berbeda
dengan penjelasan diatas, ‘Effat al-Sharqawi (1986:4-5), dengan mengutip
sosiolog aliran Jerman, mengatakan bahwa kebudayaan adalah bentuk ungkapan
tentang semgat mendalam suatu massyarakat. Sedangkan manivestasi-manivestasi
kemajuan mekanis dan teknologi lebih berkaitan dengan peradaban. Oleh karena
itu, sebagian peneliti Jerman cenderung berpendapat bahwa kebudayaan adalah apa
yang kita rindukan (ideal), sedangkan
peradaban adalah apa yang kita pergunakan atau real. Dengan kata lain jelas kebudayaan terefleksi
dalam seni, sastra, religi, dan moral; sedangkan peradaban terefleksi dalam
politik, ekonomi dan teknologi.
Untuk
kepentingan analisis, Soerjono Soekanto (1993:190) membagi kebudayaan dari
berbagai segi. Dari sudut struktur dan tingkatannya dikenal adanya super culture yang berlaku bagi seluruh
masyarakat. Suatu super culture biasanya
dapat dijabarkan dalam cultures yang mungkin didasarkan pada kekhususan daerah,
golongan, etnik, dan profesi. Dalam
suatu cultur berkembang lagi kebudayaan-kebudayaan khusus yang tidak
bertentangan dengan kebudayaan induk.
Hal ini, disebut sub culture. Apabila kebudayaan khusus tadi
bertentangan dengan kebudayaan induk, gejala itu disebut counter culture.
Counter culture
tidak selalu harus diberi arti negative, karena adanya gejala tersebut dapat
dijadikan petunjuk bahwa kebudayaan induk dianggap kurang dapat menyerasikan
diri dengan perkembangan kebutuhan.
Dengan tentang definisi dan tingkatan kebudayaan.
Kebudayaan
setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsur-unsur kecil yang merupakan
bagian satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Unsur-unsur kebudayaan dalam pandangan
Malinowski adalah sebagai berikut ;
1. System
norma yang memungkinkan terjadinya kerja sama antara para anggota masyarakat
dalam upaya dalam menguasai alam sekelilingnya.
2. Organisasi
ekonomi
3. Alat-alat
dan lembaga atau petugas pendidikan (keluarga merupakan lembaga pendidikan yang
utama)
4. Organisasi
kekuatan (Soerjono Soekanto, 1993: 192).
Dengan
istilah teknis yang berbeda tetapi sama dari segi substansi, sambil mengutip
pendapat Herskovits, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964: 115)
mengajukan empat unsur kebudayaan, yaitu technological
equipment (alat-alat teknologi), economic
system (system ekonomi), family
(keluarga), dan political control (kekuasaan politik).
Di
samping itu, terdapat unsure-unsur kebudayaan yang bersifat universal (cultural universal), karena dapat
dijumpai pada setiap kebudayaan yang ada di dunia ini. C.Kluckhohn, seorang antropolog, telah
mengurai ulasan para sarjana mengenai
hal itu yang disederhanakan menjadi tujuh.
Tujuh unsur yang dianggapnya sebagai cultural
universal adalah sebagai berikut :
1. Peralatan
dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi dan alat-alat transportasi).
2. Mata
pencarian hidup dan system ekonomi (pertanian, perternakan, system produksi dan
system distribusi).
3. System
kemasyrakatan (system kekerabatan, organisasi politik, system hukum dan system
perkawinan).
4. Bahasa
( lisan dan Tulisan )
5. Kesenian
( seni rupa, seni suara dan seni gerak).
6. System
pengetahuan
7. Religi
(system kepercayaan) (Soerjono Soekanto, 1993: 192-3)
Culturl
universal tersebut dapat dijabaran lagi kedalam unsure-unsur yang lebih kecil.
Ralph Linton menyebutnya cultural actifity.
Umpamanya, cultural univerals, pencaharian hidup ekonomi, antara lain
mencakup kegiatan pertanian, peternakan, system produksi dan system distribusi. Kegiatan kebudayaan pertanian dapat menjadi
unsur yang lebih kecil yag disebut trait
complex. Trait-complex budaya pertanian,
misalnya, meliputi unsur irigsi, system pengolahan tanah dengan bajak, dan
system hak milik atas tanah.
Trait-complex mengolah tanah dengan bajak dapat dipecah lagi kedalam
unsur-unsur yng lebih kecil, misalnya hewan-hewan yang mengendalikan bajak dan
teknik mengendalikan. Bajak, hewan yang
menarik bajak, dan teknik mengendalikan bajak disebut items. Items adalah unsur
kebudayaan terkecil (Soerjono Soekanto, 1993: 193).
Kebudayaan
mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Berbagai kekuatan yang dihadapi manusia
seperti kekuatan alam dan kekuatan-kekuatan lainnya tidak selalu baik baginya.
Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang
mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat. Teknologi, paling sedikit,meliputi tujuh
unsur, yaitu
1. Alat-alat
produksi
2. Senjata
3. Wadah
4. Makanan
dan minuman
5. Pakaian
dan perpisahan
6. Tempat
berlindung dan perumahan
7. Alat-alat
transportasi
Karsa
masyrakat mewujudkan norma dan nilai-nilai yang sangat perlu untuk tata tertib
dalam pergaulan kemasyrakatan. Untuk
mengahadapi kekuatan-kekuatan buruk, manusia terpaksa melindungi diri dengan
cara menciptakan kaidah-kaidah yang pada hakikatnya merupakan petunjuk-petunjuk
tentang cara bertindk dan berlaku dalam pergaulan hidup. Manusia, bagaimanapun hidupnya, akan selalu
meciptakan kebiasaan bagi dirinya sendiri. Kebiasaan peribadi adalah Habit.
Habit yang biasa dilakukan teratur oleh seseorang, kemudian dijadikan dasar
hubungan antara orang-orang tertentu sehingga tingkah laku dan tindakan dapat
diatur dan itu semuanya menimbulkan
norma atau kaidah. Kadiah yang timbul dari masyarakat sesuai dengan
kebutuhannya pada suatu saat dinamakan adat istiadat ( costum ). Adat istiadat yang mempunyai akibat hukum disebut hukum
adat.
Berlakunya
kaidah dalam suatu kelompok manusia bergantung pada kaidah tersebut sebagai
petunjuk tentang cara-cara seseorang dalam berlaku dan bertindak. Artinya,
kebudayaan berfungsi selama anggota masyarakat menerimanya sebagai petunjuk
prilaku yang pantas. Ahirnya, kita telah mengetahui bahwa kebudayaan merupakan
hasil karya rasa dan cita-cita masyarakat. Ia memiliki unsur-unsur, tingkatan,
dan kegunaan.
B.
ISLAM DAN KEBUDAYAAN ISLAMI
Apakah
islam itu bagian dari hasil karya, karsa, cita-cita manusia ?
Nurcholis
Majid menjelaskan hubungan agama dan budaya. Menurutnya, agama dan budaya adalah
dua bidang yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai
mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun
berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.
Sebagian besar budaya didasarkan pada agama; tidak pernah terjadi sebaliknya.
Oleh karena itu agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya biasa
merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan
tidak pernah sebaliknya ( Nurcholis Madjid dalam Yustion dkk ). ( Dewan
Redaksi, 1993 : 172-3 ).
Peran Islam dalam kehidupan
manusia
Membicarakan
peran pada dasarnya membicarakan fungsi atau kegunaan. Dalam kajian ilmu-ilmu
social terdapat teori struktural fungsional yang konsep dasarnya diperkenalkan
oleh para filosof.
Emile
Durkheim (1858-1917), ahli sosiologi dari prancis, memperkenalkan masyarakat
madani. Durkheim percaya bahwa norma-norma akan terancam oleh pembagian kerja
yang berlebihan. Dalam pandangannya, masyarakat pra industri disebut masyarakat
mekanis. Dalam masyarakat mekanis,
individu-individu menjalankan perannya masing-masing: sebagai ayah, suami,
pemburu, pendeta, dan yang lainnya.
Semuanya peran atau fungsi itu diteruskan dari generasi kegenerasi
dengan perubahan sekecil mungkin.
Pengakuan
dan penerimaan mereka akan Islam sebagai agama, kelak menjadikan Islam sebagai
sumber dan pilar utama, system nilai yang menjadi rujukan pola pikir. Karena, menurut M Amin Abdullah, “system
nilai (value system) adalah rujukan
pola pikir dan bertindak masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sebagai
manifestasi mewujudkan kebudayaan”.[1]
Masa Depan Islam
Memperhatikan
realitas perkembangan Islam di era globalisasi terlihat jelas bahwa Islam
mengalami perkembangan dan kemajuan.
Berbagai indikator dapat dijadikan pegangan, diantaranya adalah semakin
banyaknya jumlah rumah ibadah (masjid dan musalla), yang hampir dapat
dipastikan terdapat disetiap kampung, makin banyaknya jumlah lembaga pendidikan
Islam seperti madrasah dan pesantren yang tersebar di berbagai kecamatan dan
desa dalam kabupaten, meningkatnya kualitas dan kuantitas da’i yang menjadi
agen-agen akulturasi Islam dan budaya. Meningkatnya frekuensi aktifitas
pengajian dan dakwah Islam di berbagai masjid dan musalla, dan sentral
pengembangan perkembangan Islam lainnya seperti taman-taman pendidikan
Al-Quran, madrasah diniyah dan sebagainya, juga dengan bertambah dan
tersebarnya aliran atau tarekat dalam rangka peningkatan kehidupan beragama
umat, yang dalam sejarahnya, guru-guru tarekat tersebut cukup memberi
kontribusi sebagai agen-agen akulturasi Islam dan budaya.
Masa
depan Islam yang cenderung pada skularisasi ini sesungguhnya telah terlihat
gajala-gejalanya. Dalam menghadapi berbagai persoalan, terutama yang berkaitan
dengan massalah—masalah sosial, ekonomi dan keluarga, masyarakat cenderung
tidak mencari penyelesaian pada Islam dan nilai-nilai budaya, tetpai pada
undang-undang hukum positif melaui peradilan konvensional. Perkembangan yang mengarah pada skularisasi
ini akan menjadikan orang-orang mengalami keterpecahan orientasi hidup. Taat beribadah, rajin ke masjid dan aktif
mengikuti dakwah, tapi dalam realitas kehidupan cenderung bersifat materialis
dan skularis. Suatu tindakan atau
prilaku, sejauh tidak bertentangan atau ada larangan hukum positif, sekalipun
bertentangan atau dinilai tidak baik oleh agama, tetap dipandang sebagai suatu
perubahan yang diperkenankan (permisif)
No comments:
Post a Comment